Menelusuri Kegelapan Gua Lawa di Purbalingga
Hari menjelang senja, ketika jutaan kelelawar ke luar dari sarangnya.
Dari mulut sebuah gua, mereka terbang bergerombol dan kemudian membelah
langit untuk mencari kehidupan di malam hari. Keesokan harinya,
menjelang subuh, mereka pun kembali memasuki sarang berupa
lubang-lubang di perbukitan. Lubang ini pula yang digunakan hewan
landak putih untuk keluar masuk sarangnya.
Itulah pemandangan yang biasa terjadi di sebuah bukit di Desa Siwarak,
Kecamatan Karangreja, Kabupaten Purbalingga, seperempat abad silam.
Para petani desa sempat mengamati keadaan itu dan mencoba menerobos
masuk lubang yang menjadi sarang kelelawar. Dari sana, mereka sebuah
gua besar di dalamnya. Terdapat lebih dari 10 lubang berupa gua yang
bisa ditembus sampai ke dalam.
Para petani akhirnya berembuk dengan warga lain untuk melaporkan temuan
mereka kepada pemerintah daerah.
Pada tahun 1978, temuan ini langsung
direspons aparat dengan mendatangkan ahli geologi dari Institut
Teknologi Bandung. Hasilnya, disimpulkan bahwa gua ini berasal dari
pembekuan lava Gunung Slamet, gunung tertinggi di Pulau Jawa.
Karena gua-gua ini menjadi sarang kelelawar, maka mereka pun menamainya
Gua Lawa (Kelelawar, Jawa). Tepat 30 November 1979 gua ini diresmikan
bupati sebagai obyek wisata alam. Sebagai tempat rekreasi, tempat ini
pun sangat cocok, karena udaranya yang sejuk dan menyegarkan. Dan ini
cukup menjanjikan untuk menambah pendapatan asli daerah dari sektor
pariwisata.
Gua Lawa merupakan keajaiban alam yang mungkin satu-satunya di
Indonesia. Umumnya gua-gua yang ada di Indonesia terdiri dari batuan
kapur dan berada di lereng bukit, sehingga sering melahirkan stalagnit
dan stalagmit. Sedangkan Gua Lawa termasuk gua vulkanik yang terbentuk
dari lava pegunungan aktif yang meleleh dan mengalami pendinginan
beribu-ribu, bahkan berjuta-juta tahun.
Proses pendinginan lava ini mengakibatkan batuannya keras dan kuat
dengan warna hitam tanpa menimbulkan stalagnit maupun stalagmit. Tebal
batuan bisa mencapai 50 meter, sehingga tahan terhadap guncangan.
Letaknya juga tidak di lereng bukit, tapi di bukit. Proses alami dari
gaya tarik bumi tidak mungkin terjadi di daerah kapur. Ciri-ciri gua
vulkanik antara lain terdapat lorong dan mata air yang terjadi secara
alami.
Untuk menikmati keindahan Gua Lawa kita harus menuruni lubang tanah
yang menganga dan menelusuri lorong-lorong. Melewati jalan selebar satu
meter, kita akan menikmati kelembaban di dalam gua dan kesejukan mata
air yang selalu menetes dari dinding-dinding gua. Di setiap dua-tiga
puluh meter perjalanan menelusuri gua, kita bisa menengok ke atas dan
menyaksikan lubang tanah berdiameter lebar -- yang selama ini berfungsi
sebagai fentilasi gua. Lubang-lubang itu terbentuk dari proses alam,
bukan dibuat manusia.
Semula terdapat 17 lubang. Belakangan dua lubang mengalami kerusakan
dan mulai menyempit dengan sendirinya. Di atas lubang-lubang itu, kini
dibuat atap permanen dari genteng berbentuk jamur. Dari jauh ia tampak
asri. Setelah menelusuri gua sepanjang 1,5 km, tentu kita akan merasa
capek. Tapi keajaiban-keajaiban yang bisa kita temukan di bumi
Purbalingga ini, akan segera mengusir rasa lelah. Apalagi untuk mereka
yang menyukai olahraga jalan sehat. Tidak hanya kesegaran tubuh yang
bisa didapat, tapi juga kesegaran pikiran dan jiwa.
Ada sekitar 14 nama gua yang bisa kita temui dalam satu perjalanan di
Gua Lawa itu. Masing-masing gua mempunyai cerita dan legenda
tersendiri, yang tentu sangat menarik untuk didengarkan. Saat memasuki
pintu gua misalnya, kita bisa menyaksikan 'Gua Batu Semar'. Nama ini
diambil karena di dalam gua itu terdapat sebuah batu yang sangat mirip
dengan sosok Semar, seorang tokoh dalam jagat pewayangan. Ini adalah
batu alami yang sudah berada di tempat itu selama jutaan tahun silam.
Tidak jauh dari 'Gua Batu Semar', menghadang batu besar di atas kita
yang membentuk sebuah pohon beringin. Karena itu, gua ini dinamakan
'Gua Waringin Seto'. Untuk melewatinya, pengunjung harus menundukkan
tubuh. Bila perjalanan diteruskan, kita akan sampai ke 'Gua Istana
Lawa', gua yang konon menjadi tempat raja kelelawar dan jutaan
prajuritnya bernaung.
Dengan satu kali kelokan, perjalanan akan mengantarkan kita di 'Gua
Dada Lawa'. Gua ini sangat indah karena di samping bentuknya seperti
dada kelelawar raksasa, juga memiliki kolam yang airnya sangat jernih
dan tidak pernah kering. Setelah meninggalkan Gua Dada Lawa, kita
memasuki satu lokasi yang memiliki tiga buah gua, yaitu 'Gua Pancuran
Slamet', 'Gua Sendang Slamet', dan 'Gua Sendang Drajat'. Kedua gua yang
disebut pertama memiliki pancuran air yang tak pernah kering. Konon,
siapa saja yang mencuci muka dengan air dari pancuran ini akan menjadi
awet muda dan memiliki selalu berseri-seri. Sementara 'Gua Sendang
Drajat' terdapat mata air yang diyakini mampu mendatangkan rezeki bagi
siapapun yang meminumnya.
Di area yang sama, terdapat pula 'Gua Gangsiran Bupati'. Nama ini
diambil untuk memberi kenangan kepada Bupati Goentoer Darjono yang ikut
membangun dan meresmikan Gua Lawa sebagai obyek wisata alam Kabupaten
Purbalingga. Ada juga 'Gua Lubang Panembahan', gua dengan lorong sejauh
15 meter dan diameter 1,5 meter. Gua ini dulunya sering digunakan orang
untuk bersemedi, meminta rezeki atau diringankan jodoh.
Melalui jalan yang berkelok dan naik-turun, perjalanan berlanjut ke
'Gua Rahayu'. Dinamakan 'Gua Rahayu', karena sejak pertama gua dibuka,
belum pernah terjadi apa pun. Masyarakat setempat meyakini siapa saja
yang masuk ke dalam gua ini akan selalu dalam lindungan Tuhan Yang Maha
Esa. Keluar dari gua ini, pengunjung akan menemukan 'Gua Keris'. Ini
adalah sebuah gua dengan batu yang menyerupai keris, lengkap dengan
wrangka (sarung)-nya. Sayangnya, beberapa tahun lalu batu keris itu
hilang dicuri orang.
Perjalanan bisa berlanjut ke 'Gua Langgar'. Sebuah gua yang membentuk
satu ruangan dan dulu digunakan orang untuk sholat. Dari sini kita bisa
menuju dua gua terakhir, yaitu 'Gua Cepet' dan 'Gua Putri Ayu'. Setiap
pengunjung harus melewati sebuah jembatan yang di bawahnya terdapat
sendang dengan air yang terkadang naik sampai ke mata kaki.
Alat penerangan berupa lampu biasa yang ada di sepanjang perjalanan di
dalam gua memang mengesankan Gua Lawa lebih alami. Namun, pemasangan
lampu warna-warni sebenarnya bisa menambah kecantikan gua ini sekaligus
daya tarik bagi pengunjungnya. Sedang gerbang gua alami yang seharusnya
dipertahankan, kini telah dibongkar dan diganti dengan yang lebih
berkesan modern, sehingga Gua Lawa kehilangan ciri khasnya.
Gua-gua di dalam Gua Lawa memiliki tinggi antara lima hingga 15 meter
dengan lebar yang bervariasi pula. Diperkirakan, di dalam gua-gua yang
sudah tak lagi dijadikan sarang kelelawar ini, masih ada puluhan lorong
gua yang belum ditemukan. Kepala Obyek Wisata Gua Lawa, Margo Ulsachih,
menceritakan bahwa pengunjung ke gua ini kebanyakan dari wilayah utara,
yaitu warga Kabupaten Pemalang. ''Pada hari libur dan Lebaran, mereka
membludak. Ini karena kami juga memeriahkan acara dengan panggung
hiburan,'' tuturnya.
Lokasi obyek seluas 11 hektar dan berada di sisi timur Gunung Slamet
ini memang dilengkapi dengan fasilitas bermain anak-anak, taman
'kenangan' bagi remaja, dan panggung terbuka. Ada juga beberapa patung
badak dan kura-kura dengan ukuran raksasa. Beberapa tahun lalu, Gua
Lawa bahkan dilengkapi dengan sebuah kebun binatang mini yang menampung
sejumlah jenis satwa. Sekarang, pengunjung tak bisa lagi menyaksikan
berbagai satwa di sana. ''Di samping biaya pemeliharaan yang tinggi,
kurangnya rasa memiliki di kalangan warga juga menjadi kendala utama
untuk bisa mempertahankannya,'' ujar Margo.
Suasana teduh sangat terasa di lokasi bermain anak dan taman kenangan.
Banyak pohon pinus dan mahoni yang sudah mulai besar. Di samping untuk
kesejukan, pohon-pohon juga berfungsi menampung kadar air dalam tanah.
Gua Lawa berjarak sekitar 25 km di sisi utara pusat kota Purbalingga.
Ia bisa ditempuh selama satu jam dengan melewati jalan menanjak dan
berkelok. Untuk mencapai tempat yang indah itu, tersedia cukup banyak
kendaraan umum. Perjalanan juga bisa dilakukan dari kota Purwokerto
melewati wanawisata dengan rimbunan pepohonan.
Bupati Purbalingga, Triyono Budi Sasongko, kepada Republika mengatakan
bahwa pihaknya sedang mengupayakan pembenahan obyek wisata ini. Ini
dilakukan dengan membangun beberapa fasilitas berupa jalan lingkar,
perbaikan atap ventilasi, gapura dalam, tempat berteduh, pengadaan air,
dan kios, yang menghabiskan biaya lebih dari Rp 1 miliar.
Tampaknya pemerintah daerah berharap banyak akan masuknya investor yang
mau menanamkan modalnya seperti mendirikan vila atau hotel. ''Sekarang
ini baru ditawarkan pada pengusaha lokal,'' ungkap Triyono.
Sebelumnya,
obyek ini pernah dikelola investor lokal. Tapi karena perawatannya
mengecewakan, akhirnya pengelolaannya ditarik kembali oleh pemda. Saat
ini baru ada dua pondok wisata milik pribadi dan juga lokasi
perkemahan.
Pemda juga punya rencana lain untuk mengembangkan obyek ini. Antara
lain dengan membangun pusat kegiatan pendidikan terpadu, yang akan
memberi bekal pendidikan dan ketrampilan bagi masyarakat. Bila potensi
Gua Lawa tergali, bupati berharap, akan mengundang pengunjung lebih
banyak di samping menambah pendapatan daerah dan masyarakat setempat.
BOKS:
Wana Wisata Serang: Wisata Alam yang Belum Tersentuh
Dalam satu kali perjalanan, kita bisa menikmati beberapa obyek wisata
alam di bumi Purbalingga. Tidak jauh dari Gua Lawa, tepatnya 5 km ke
arah barat, pemandangan alam yang indah dan mempesona dengan hutan
lindung yang menyejukkan serta kicau burung yang mengasyikkan akan
dapat kita dinikmati kapanpun. Obyek itu bernama 'Wana Wisata Serang'.
Di sepanjang jalan menuju hutan wisata, kita melewati hamparan
perkebunan tembakau, kubis, wortel, serta tanaman sayur alinnya.
Kehidupan masyarakat desa yang masih tradisional juga dapat disaksikan
di sana.
Kesejukan lebih terasa saat memasuki gerbang wana wisata. Lebatnya
pepohonan dan berbagai jenis satwa burung serta sesekali muncul kera
bergelayut di pohon menambah ketertarikan kita pada alam itu. Tersedia
pula beberapa shelter di sepanjang jalan wana wisata yang mencapai 15
km.
Untuk dapat masuk ke obyek wana wisata ini dapat dilakukan melalui
dua pintu gerbang, yaitu lewat Batur Raden (Kabupaten Banyumas) dan
melalui pintu gerbang Desa Serang (Kabupaten Purbalingga). Jalan yang
dilalui sudah diaspal dan mulus.
Bagi para wisatawan yang suka dengan tantangan, pendakian Gunung Slamet
tentu akan menjadi pilihan yang tidak terlewatkan. Puncak gunung ini
juga sudah banyak dikenal di kalangan pecinta alam. Bagi siapa saja
yang berhasil menaiki gunung itu hingga ke puncak, akan membawa banyak
cerita menarik. Sunset yang indah atau hamparan bunga edelweiss akan
dijumpai di jalan menuju puncak.
Untuk mencapai puncak Gunung Slamet dapat dilakukan melalui beberapa
jalur. Namun yang lazim adalah melalui lereng sebelah timur, yaitu
melalui wilayah Kabupaten Purbalingga. Tepatnya melalui Dukuh
Bambangan, Desa Kutabawa atau Dukuh Gunung Malang, Desa Serang,
Kecamatan Karangreja. Jarak dari Kota Purbalingga sampai puncak kurang
lebih 36 km. Dengan ketinggian puncak 3.418 meter atau tertinggi di
Pulau Jawa. Para pendaki yang hendak naik ke puncak harus hati-hati
karena di samping curah hujan yang tinggi, kabut tebal selalu
menyelimuti gunung itu.
Sebenarnya saat perjalanan menuju Gua Lawa, ada beberapa obyek menarik
berupa curug (air terjun) antara lain, Curug Karang (air terjun Sungai
Karang). Disebut Curug Karang karena memiliki batuan hitam nan terjal
dengan tiga tingkatan curug. Begitu segar pemandangan tersebut setelah
kita berolahraga ria menyusuri jalan setapak sekitar kurang lebih 4 km
dengan kiri dan kanan hamparan hutan dan sungai yang airnya jernih
disertai iringan musik alam berupa gemericik air.
Jarak dari ibukota Purbalingga ke lokasi -- yaitu Desa Tanalum,
Kecamatan Rembang -- kurang lebih 37 km. Ini bisa ditempuh menggunakan
roda empat maupun roda dua. Ada Curug Nini yang air terjunnya tidak
begitu tinggi, namun di bawahnya terdapat sumber air atau mata air yang
tidak pernah kering dan terdapat banyak ikan.
Konon menurut cerita
masyarakat sekitar, ada ikan yang tinggal hanya kepala dan durinya
saja. Lokasi Curug Nini terletak di Desa Cipaku, Kecamatan Mrebet,
kurang lebih 10 km dari Kota Purbalingga.
Setelah singgah di Curug Nini, kita bisa melanjutkan perjalanan 5 km
lagi ke arah utara menuju ke Curug Ciputut. Tepatnya di Desa
Talagening, Kecamatan Bobotsari. Panorama cukup indah untuk dipandang.
Air terjun ini memiliki ketinggian 30 meter dan tidak pernah kering
sepanjang tahun. Banyak dikunjungi remaja-remaja pada saat libur dan
mereka yang gemar berpetualang karena medannya cukup memadai dengan
dinding dan lereng yang terjal. Untuk memenuhi kebutuhan air bersih,
masyarakat sekitar dengan menggunakan jet pump mengambil air dari curug
itu untuk kebutuhan sehari-hari. Sebelum listrik masuk wilayah ini,
masyarakat memanfaatkan air terjun ini untuk menggerakkan kincir air.
Masih ada beberapa lagi curug yang bisa dikunjungi dalam satu kali
perjalanan. Seperti Curug Cilintang dan Curug Sumba. Curug-curug ini
sangat potensial dijadikan obyek wisata alam. Sayang, sampai kini belum
ada perhatian.
(bowo leksono)
Minggu, 08 September 2002
© 2006 Hak Cipta oleh Republika Online
ConversionConversion EmoticonEmoticon